Kamis, 08 November 2012

Potret Pelaksanan Standar Pelayanan Minimal di Provinsi NTB


MEMAKNAI STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM)

Otonomi daerah membawa perubahan dalam penyeleggaraan pemerintahan, pemenuhan terhadap penyelenggaraan pelayanan yang baik menjadi tantangan tersendiri bagi pihak pemerintah daerah untuk dapat menghasilkannya. Tidak hanya itu saja, pelayanan merupakan alat ukur pencapaian keberhasilan kinerja pemerintah daerah dan juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dengan menggunakan alat sebagai pedoman pemberi pelayanan yaitu standar pelayanan minimal (SPM) sesuai dengan Undang-undang 32 tahun 2004 pasal 11 ayat 4 Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Menurut pengertiannya pada pasal 1 Angka 6, standar pelayanan minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentan jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Jenis dan mutu pelayanan dasar, yang menjadi pertanyaan disini apa saja jenis pelayanan dasar yang harus disiapkan oleh pemerintah daerah kepada masyarakatnya apakah seluruh urusan wajib yang dimaktubkan pada PP 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan dengan jumlah 28 urusan yang menjadi urusan wajib.

Terdapat juga pengertian pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar yang mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintah. Pelayanan dasar ditentukan dengan tiga kriteria yang sangat besar dan luas sehingga seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) membuat SPM yang harus diterapkan oleh pemerintah daerah dan pada akhirnya juga berdampak pada anggaran serta mobillisasi sumberdaya yang dibutuhkan dalam implementasi SPM.

Urusan wajib yang menjadi pelayanan dasar pada frase kalimat ini memiliki, terdapat pertanyaan yang perlu di jawab meningat di dalamnya terdapat 26 urusan wajib yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang kesemuannya berimplikasi pada tiga aspek besar antaralain sosial, ekonomi, dan pemerintah. Tetapi perlu penekanan yang menakah sesunggunhnya urusan wajib yang berupa pelayanan dasar dan dimana terdapat pelayanan dasar tersebut.
  
Perlu juga di ketahui dalam 65 tahun 2005 pasal 4 ayat 1, menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen menyusun SPM sesuai dengan urusan wajib sebagaimana dimaskud pasal 2 ayat 2 dimana berbunyi SPM disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib pemerintah daerha provinsi dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yanh terkait dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. K/L dapat menyusun SPM dan selanjunya untuk dilaksanakan oleh  pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, juga termaktub PP 65 tahun 2005 dalam pasal 9 ayat 2.


SPM yang menjadi alat menentukan anggaran berbasis manajemen kinerja dalam penentuan besaran anggaran yang dibutuhkan untuk penyediaan pelayanan dasar denga berdasarka indokator kinerja yang di tentukan oleh masing-masing K/L. SPM merupakan Tolak ukur untuk menilai kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang merupakan suatu bentuk manajemen kinerja pemerintah daerah dalam memenuhi akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah daerah.  setidaknya manajemen yang berbasi kinerja berfokus pada hasil akhir (outcome) jadi indikator yang terdapat pada jenis dan mutu pelayanan sekiranya adalah indikator outcome. manajemen kinerja sendiri pengeritannya dalam mahmudi, 2010 yang dikuti dari management handbook Departemen energi USA adalah merupakan suatu pendekatan sistematik untuk memperbaiki kinerja melalui proses berkelanjutan dalam penetapan sasaran-sasaran kinerja strategik; mengukur kinerja; mengumpulkan; menganalisis; menelaah; dan melaporkan data kinerja serta menggunakan data tersebut untuk memacu perbaikan kinerja.

Tugas pemerintah pusat dalam hal ini K/L antara lain:
1.      Menyusun SPM beserta petunjuk dan pedoman teknisnya dengan peraturan menteri
2.      Melakukan pembinaan kepada pemerintahan daerah dalam penerapan SPM
3.      Memiliki kewajiban mendukung pengembangan kapasitas pemerintah daerah yang belum mencapai SPM dan dapat melimpahkan kewajibannya kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.
4.      Memberikan penghargaan dan sangsi.
Tugas Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) dalam pelaksanaan SPM:
1.      Menyusun rencana Capaiaan SPM sesuai target yang sudah ditentukan dituangkan kedalam RPJMD dan Renstra SKPD
2.      Mengakomodasikan pengelolaan data dan informasi penerapan  kedalam sistem informasi daerah
3.      Mengelola pelayanan publik secara bersama-sama dengan daerah disekitarnya
4.      Melakukan kerja sama dengan pihak swasta, untuk memenuhi capaian target SPM.

PERAN PEMERINTAH PROVINSI NTB DALAM MENDUKUNG SPM  

Melihat perannya, pemerintah provinsi  NTB dalam implementasi SPM di wilayahnya yaitu di Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Selatan melakukan fasilitasi secara umum terkait dengan penyusunan rencana capaian dan penetapan target tahuan dengan memlakukan pendampingan dalam penyusunan RENSTRA dan RENJA yang merupakan dokumen perencanaan daerah.

Melihat kewenannganya di dalam PP 65 tahun 2005, peran pemerintah provinsi hanya memiliki peran pembinaan kepada pemerintah kabupaten/kota dan itu dilakukan paling akhir pada tahun 2011. Selain itu juga, pemerintah kabupaten/kota, mendapatkan fasilitasi terkait dengan pencapaian kinerja dengan indaktor SPM tetapi itu tidak mengulas SPM secara khusus.

Terdapat beberapa program provinsi NTB mendukung juga pencapaian SPM seperti yang menjadi program prioritas dan ungulan yang diharapkan mendongkrak pencapaian SPM yang dimasukan kedalam bidang pendidikan dan kesehatan program Akuno dan Akuano.

Selain itu terdapat alokasi dana dari pemerintah pusat khususnya dibidang pendidikan dan kesehatan berupa Dana Oprasional Sekolah dan bantuan oprasional kesehatan (BOK) setidanya membantu untuk pencapaian SPM di tingkat Kabupten/Kota. Dana ini merupakan dana alokasi dari pemeritah pusat kepada pemerintah provinsi dalam mendukung kewenangan gubernu sebagai wakil pemerintah pusat.

Pengelolaan keuangan untuk mendukung SPM di provinsi NTB seperti Jamkesda yang dikelola oleh biro keuangan dalam dana bantuan sosial sedangkan dinas kesahatan hanya sebagai pengadministrasi saja, dirasa kurang pas mengingat tugas pokok dan fungsi dari unit-unit tersebut sudah cukup jelas. Pengelolaan tersebut arus di reposisi sesuai dengan tupoksi dari unit kerja.

Pada bidang kesehatan pemerintah provinsi menetapkan peraturan daerah  tentang SPM bidang Kesehatan dengan menambahkan 2 indikator yang merupakan kebutuhan untuk wilayah Provinsi NTB. Kewenangan dalam menetapkan indikator SPM berada pada pemerintah dalam artian K/L terkait dan pemerintah daerah memiliki kewajiban melaksanakan dan melakukan fasilitasi terhadap pelaksanaan SPM.

PENERAPAN SPM DI KABUPATEN/KOTA

Penerapan SPM dikabupaten/Kota dimaksudkan melihat pelaksanaanya pada kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat pada tiga bidang pelayanan antara lain: pendidikan, kesehatan, serta pekerjaan umum dan tata ruang.


PEMAHAMAN DI DAERAH
Kemampu satu kerja perangak daerah (SKPD dalam memahami SPM pada tiga bidan tersebut sudah memahami untuk di terapkan dalam penyelenggaraan pemerintah, walaupun tingaktan pemahaman masing –masing kepala dinas berbeda tetapi setidaknya secara garis besar dapat mengerti dan mengetahui apa yang dimaksud dengan SPM

SPM di daerah locus sudah menjadi acuan dalam melakukan pekerjaan, pada tingkat SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) indokator SPM merupakan pekerjaan rutin dari tahun-ketahun yang selalu dilaksanakan. Pada tingkat pelaksanan dapat memahami secara mendalam kebutuhan ataupun juga turunan untuk pelaksanaan kegiatan dan pelayanan apa yang harus diberikan kepada masyarakat dengan menigkuiti indikator, capaian target sasarana yang sudah termaktub dalam setiap SPM.

Penguatan SPM di ketiga daerah locus tersebut melalui sosialisasi dan pembinaan secara langsung oleh kementerian terkait. SPM memang tidak secara terang-terangan di sosialisasikan dalam setiap pertemuan antara pemerintah pada tiga daerah locus dengan pemerintah yang dalam hal ini di wakili oleh kementerian terkait, setiap sosialisasi yang dilakukan indikator yang disampaikan dalam memenuhi kinerja pelayanan kepada masyarakat di daerah selalu disampaikan

Sosialisai yang spesifik terkait dengan SPM memang jarang dilakukan oleh kementerian teknis yang mengelola. Tentunya sosialisasi yang dilakukan oleh kemterian terkait tersebut sudah mengikut sertakan indikator target capaian dan sasaran kinerja yang merupakan indikator kinerja kunci dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pada setiap dinas tersebut.

Definisi indokator yang dirasa sulit diartikan karena mengunakan definisi internasional terutama pada SPM bidang Kesehatan dianggap terlalu luas agak sukar untuk dipahami oleh pelaksana dilapangan. Dengan demikian alternatifnya untuk permasalah terkait pemahaman indikator ini, pemerintah daerah lebih menyederhanakannya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang terjadi di masing-masing SKPD dengan mereposisi kembali seperti penyembut yang memperkecil jumlah cakupan dan penyebut tersebut terlalu bias jika digunkan. Juga terdapat beberapa indikator yang sebainya diterjemahkan langsung kedalam bentuk indikator kuantitatif terutama dalam melihat bentuk fisik bangunan dalam memenuhi tutunan penguna.

Terdapat indikator yang posisi sebaiknya berupa program atau pun kegiatan insidensial terkait penjaringan siswa SD. Penentuan indikator ini lah yang harus benar-benar diperhatikan oleh K/L dan Kemendagri yang memiliki tugas meverifikasi dan mengharmonisasikan SPM yang dikeluarkan oleh lembaga. Ditingkat pusat juga masih terdapat persepsi yang berbeda dalam memahami indikantor, sayangnya itu pula yang tidak diperkuat oleh aturan yang dapat meningat jenis indikator apa yang sebaiknya digunkana dalam SPM.

Selain indikator, kurang padunya pelaksanaan kegiatan unit kerja yang langsung dibawah kementerian, seperti balai-balai besar dan UPT yang ada di daerah yang melakukan pekerjaan pusat diwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTB. Dimana satuan kerja tersebut memiliki program dan kegiatan sendiri dan pemerint daerah juga memiliki program dan kegiatan sendiri, sehingga dibutuhkan kooordinasi untuk dapat mensinegitaskan pelaksanaan pelayanan publik.

Adanya jenis pelayanan yang dilakukan bersama-sama oleh SKPD atau lembaga daerah yang bisa dapat saling bersinergi. Informasi yang didapat hasil wawancaran seperti KB yang merupakan jenis pelayanan di bidang kesehatan juga dapat saling bersinegri dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana sehingga pencapaiaan SPM dapat segera terrealisasi hal yang sama juga didapat antara SPM pendidikan dasar dengan kesehatan, kesehatan dengan pekerjaan umum dan tataruang yang terkait dengan rumah sehat. Untuk bidang kesehatan dan pendidikan terkait dengan cakupan penjaringan siswa SD dan setingkat dan kesemuanya memerlukan suatu pola penyelenggaraan SPM di daerah sehingga pada akhirnya dapat memenuhi tuntutan capaian yang di inginkan dari masing-masing SPM tersebut.

Secara khusus pelaksanaan SPM pada tiga bidang tersebut tidak dilaporkan tetapi setiap pelaksanaan dan capaian yang juga melingkupi indikator SPM sudah masuk kedalam laporan kerja penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaporkan kepada menteri dalam negeri melalui gubernur.

SPM DALAM PERENCANAAN
Dokumen perencanaan merupakan dokumen merupakan dokumen yang disusun untuk menetukan arah dan pelaksanaan kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh setiap SKPD. Perencanaan merapakan metode dalam menyusun kegiatan untuk mencapai target atau sasaran yang ditetapkan oleh suatu organisasi. Perencanaan tersebut haruslah sesuai kebutuhan, tepat sasaran efektif dan efisien sehingga dapat menekan kesalahan dalam penyusunan perencanaan sebelumnya.

Artur W. Lewis dalam (Sjafrizal, 2009) mendifinisikan perencanaan pembangunan sebagai suatu kumpulan kebijakan dan program pembangunan untuk merangsang masyarakat dan swasta unutk menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih produktif. Perencanaan mendorong agar masyarakat dan pemangku kepetingan di daerah untuk melakukan suatu tindakan sehingga terjadi roda pembangunan di daeah menjadi lebih baik dan lebih produktif. Terkait dengan SPM yang merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pemberian pelayanan yang minimal kepada masyarakatnya sehingga dapat memacu dan membentuk pelayanan yang lebih baik lagi bagi masyarakat daerahnya.

Indikator SPM sudah masuk dalam indikator kinerja setiap pada tiga SKPD, indikator tersebut sudah sejak lama dan menjadi indikator kinerja utama dalam pelaksanaan pelayanan di ketiga bidang pelayanan tersebut. Sebelum adanya SPM, ketiga SKPD sudah sering kali menggunakan indikator yang terdapat dalam SPM. Sosialisasi dan pengarahan dari kementerian untuk memprioritaskan indikator-indikator yang juga di dalamnya termasuk indikator SPM sudah dilakukan dengan baik.

SPM merupakan perencanaan dengan pendekatan top-down, dimana pemerintah melalui kementerian memeberikan pedoman melalui SPM untuk mendukung peningkatan palayanan di daerah. dimana SPM itu sendiri dalam pejelasan umumnya merupakan tolak ukur menjadi suatu panduan daerah untuk merenancana terget serta sasaran dan kebutuhan anggaran sehingga tujuan dari pelaksanaan kegiatan tersebut dapat tercapai sesuai dengan apa yang ditetapkan.

Pada daerah locus tersebut indikator dari ke tiga SPM menjadi perhatian serius untuk dapat mendorong perbaikan kualitas hidup masyarakat. Prioritas idikator kinerja dalam melakukan perencanaan di daerah sudah terbisa. Dari pihak legislatif tersediri tidak ada hambatan yang berarti untuk memasukan setiap indikator SPM di dalam indikator pelaksanaan pemberian pelayanan yang dilakukan oleh SKPD tekait.Pada tiga daerah locus berusaha melaksanakan SPM di tiga bidang tersebut mengingat pentingnya diharapkan setiap indikator yang sudah masuk kedalam RPJMD terdapat keterpaduan pembangungan dan peningkatan pelayanan.

HAMBATAN
Belum teritegrasinya pelaksanaan SPM yang ada sehingga dirasakan kebutuhan role of the game pada tataran pelaksanaan SPM di daerah sangat dibutuhkan bukannya malah membentukan SPM di tingkat daerah yang bukan menjadi tugasnya provinsi.

Prilaku masyarakat untuk memenuhi jenis pelayanan yang terdapat dalam SPM juga memberikan pengaruh pada pencapaian target SPM. Contohnya prilaku merokok di lingkungan rumah, konsumsi makanan sehat yang menjadi alat penghitung tingkat capaian SPM. Untuk itu dapat dipertimbangkan dengan sangat hati-hati dalam mengukur capaian SPM tersebut.

Penyebaran penduduk (urbanisasi), lalulalang penduduk di suatu daerah mementahkan kembali penghitungan capaian SPM khususnya SPM bidang pendidikan dan Kesehatan. Didapat informasi dari wawancaran, pada jenis pelayanan kesehatan K4 dalam menjaga kodisi ibu hamil dan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga bidan, bagaimana cara menghitungnya jika ibu tersebut melahirkan diluar daerah yang sudah memeberikan pelayanan K4.

Selain itu, untuk bidang pendidikan kepadatan penduduk dimasing-masing kecamata yang berbedan dengan memiliki puskesma atau sekolah yang ditetapkan dan pandangan masyarakat yang menetapkan suatu sekolah menjadi sekolah favorit di wilayahnya sehingga berbondong-bondong masyarakat tersebut memasukan anaknya ke sekolah di suatu daerah, dimana pihak sekolah tidak kuasa untuk menolaknya kehadiran peserta didik.

Bukan saja masalah anggaran saja yang sudah menjadi cerita klasik penyelenggaraaan kebijakan tetapi kebutuhan SDM dengan kompetensi untuk memberikan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanan yang sudah ditetapkan memerlukan perhatian khusus.


STRATEGI PERCEPATAN PENERAPAN SPM

Mendorong pemerintah pusat dalam hal ini K/L yang membidani SPMnya untuk melakukan tugas-tugasnya dalam percepatan pelaksanaan dalam melakukan pembinaan kepada pemerintah daerah, mengingat kegagala SPM merupakan kegagalan pembinaan yang dilakukan oleh K/L.

Sinergitas program/kegiatan K/L yang membidani SPM dengan pelaksanaan SPM menjadi trobosan untuk mensinergikan pelaksanaan pembangunan.  

Perpaduan anggaran dari kegiatan K/L terkait, provinsi sebagai wakil pemerintah pusat dan kemampuan APBD di daerah.


daftar pustaka
Mahmudi, 2010. Manajemen Kinerja Sektor Publik edisi kedua. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Sjafrizal, 2009. Teknik Praktis Penyusunan rencana Pembangunan Daerah. Jakarta: Baduose Media 

Rabu, 28 Maret 2012

DUKUNGAN PENGAWASAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH


Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang 32 tahun 2004 dengan demikian kita harus mengenal rezim yang digunakan dalam penyusunan Perda yang bisa juga disebut rezim pengawasan sesuai juga dengan PP 79 tahun 2005 tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaaraan pemerintahan daerah, dan Permendagri 53 tahun 2011, rezim dalam penyusunan Perda merupakan rezim pengawasan yang dapat dikelompokkan kedalam dua yaitu; 1. yang diawasi berupa Rancanag Peraturanan daerah (Raperda); dan 2. Perda itu sendiri. Raperda dikategorikan yang terkait dengan keuangan yang dibagi menjad 4 (empat) Raperda APBD, Raperda pajak Daerah, Raperda Retirbusi Daerah dan Raperda Tata Ruang. kemudian Perda dikelompokan berupa adalah Perda non keuangan Daerah.

Tabel. Pengawasan Perda menurut UU 32 Tahun 2004
NO
Unsur
Mazhab
Evaluasi
Klarifikasi
1.
Jenis Perda
APBD, RTRW, dan Pajak & Retribuisi Daerah
Non Keuangan
2.
Sifat asesment
Pre-emptif
Prefentif
3.
Pembatalan
Kepmendagri
Perpres
Sumber: FGD BPP Kemendagri  

Setidaknya terdapat dua mazab dalam pengawasan terhadap penyusunan Perda yang akan ditetapkan oleh Pemerintahan Daerah. kedua Mazhab tersebut adalah: 1. Mazhab evaluasi; dan 2. Mazhab klarifikasi. Mazhab evaluasi ini memiliki paradigma yang bersifat prefentif, maksudnya sebelum ditetapkan menjadi Raperda, mendapatkan koreksi/perbaikan terlebih dahulu, selanjutnya yang berupa Perda memiliki paradigmanya represif.

Inilah paradigma setalah lahirnya UU 32 tahun 2004 dan PP 28 tahun 2009, perlu pelurusan terhadap kesalah pahami karena terkait dengan output yang akan dikeluarkan untuk Raperda adalah berupa Keputusan Menteri Dalam Negeri dan untuk pembatalan Perda dengan menggunkan Peraturan Presiden, hingga saat ini mendagri belum pernah membatalkan Perda.

Mendagri hanya melakukan pembatalan yaitu berupa Raperda yang hanya terkait dengan pajak daerah dan retrbusi daerah berdasarkan UU 34 tahun 2001 yang dibatalkan dengan Kepmen.Inilah paradigma yang digunakan sehingga banyak sekali yang keliru ketika memahami kejadian pembatalan Perda tahun 2002-2009, bahkan banyak yang mengat berupa Raperda itu berupa Kepmend. Kepmen adalah perintah dari UU Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Mendagri belum pernah membatalkan Perda yang bukan pajak daerah dan retribusi daerah, tentang minuman beralkohol, Perda kawasan lokalisasi membatalkan Perda trantib

Evaluasi terhadap Raperda ini dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri, jadi evaluasi APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah Dan Tata Ruang dilakukan dengan Keputusan Menteri dalam Negeri dimaksudkan untuk menyatakan bagian yang salah dalam isi, sehingga agar dilakukan perbaikan/revisi, dan pembetulan/revisi tersebut masih dalam berupa Raperda. Jika bersitfar klarifikasi sudah berupa Perda yang non keuangan daerah.

Rezim sebelum berlaku UU 28 tahun 2009, pembatalan Perda Pajak Retribusi Daerah boleh dengan keputusan Menteri, mulai pada tahun 2010 Mendagri tidak lagi  membatalkan Perda, sejak tahun 2010 Mendagri memiliki tugas hanya melakukan kelarifikasi karena kewenanganya sudah dikembalikan kepada Persiden sesuai dengan UU 28 tahun 2009, itu mengutip semua bahasa di UU 32 tahun 2004 terkait dengan pembatalan perda pajak dan retribusi daerah dengan Perpers, betapa sibuknya dan tingginya mekanisme pembatalan Perda yang dimana pembatalanya  Perda tersebut harus dengan Perpres. Maka di dalam revisi UU Pemerintahan Daerah yang masih dalam pengodokan bersama DPR RI, semua pembatalan Perda akan disusahakan untuk kembali lagi kepada Mendagri.


PERDA-PERDA BERMASALAH

Pada tahun 2010 ada 407 perda bermasalah, artinya dari 3000 yang diklarifikasi oleh Kemendagri terdapat 407 Perda yang bermasalah dan hingga saat ini yang sudah dikeluarkan surat teguran kepada deerah untuk membatalkan Perdanya tersebut. Sayangnya surat terguran ini masih sangat lemah untuk memeritahkan daerah segera membatalkan Perda yang bermasalah tersebut, pada akhirnya yang sering terjadi adalah ketidaktaatan daerah untuk mematuhi surat teguran tersebut, karena daerah mengatakan, Perda kami hanya sebatas baru ditegur belum dibatalakan. Dan pada tahun 2011 dari 9000 kita menemukan ada 351 Perda yang bermasalah, dan Kemedagri sudah mengirimkan surat teguran kepada daerah-daerah yang bersangkutan, kemendagri belum sampai ke pembatalan Perda karena pembatalan Perda kewenannganya ada pada presiden.


PEMAHAMAN DALAM PENGAWASAN PERDA

Selanjutnya, terdapat kesulitan dalam melakukan evaluasi dan klarifikasi yang begitu sangat rumit dan kompleks, harus memahami benar peraturanan perundang-undangan yang lebih tinggi, berikutnya memiliki satu kesamaan persepsi tentang kepentingan umum dan mempunyai kesamaan persepsi tentang apa yang disebut ongkos ekonomi tinggi (high cost economic), contoh kongkrit adalah Perda komisi pertambangan di kabupaten sumbawa barat, dan untuk Perda ini Mendagri sudah melakukan klarifikasi untuk perintah pembatalan Perda tersebut, karena dipandangan meilhat daerah hanya dua bentuk pungutan yaitu, pajak daerah dan retribusi daerah dan tidak boleh ada pungutan lain, komisi merupajan jenis pungutan lain, karena merasa sudah otonomi daerah lalu mengatakan; “kami sudah otonomi, Kami boleh mengatur rumah tangga daerah sendiri, jadi kalo bapak menteri membatalkan silahkan dengan perpers bukan dengan surat”. Dan hingga saat ini Presiden hanya membatalkan 1 (satu) qanun (Perda) di provinsi Aceh tentang pemilihan Kepala Daerah. Ini merupakan gambaran secara nyata mengapa surat klarifikasi tidak ditaati oleh daerah, karena daerah masih mengagap berupa peringatan/teguran, namun yang bersifat pembatalan hampir semua sudah diikuti apalagi dengan sudah berlakunya UU Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang baru,  maka daerah tidak lagi berani membuat selain yang ada di UU 28 tahun 2009.

Kesulitan yang lain dalam melakukan pengawasan yang bersifat klarifikasi adalah persoalan kemampuan SDM masih sangat minim pemahaman ketika membaca sejumlah Perda. Terdapat ribuan Perda yang harus dibaca oleh Kementerian Dalam Negeri dan selanjutnya menstrukturkan kembali bagian-bagian mana yang menjadi titik berat dan perhatian utama yang harus dikaji, sebagai contoh, pemahaman dalam membaca perundang-undangan yang lebih tinggi, ini merupakan persoalan yang perlu terus menerus dibenahi dalam pembinaan SDM.

Ada 3 pilar harus kita pahami dalam membaca peraturan perundang-undangan, yaitu; 1 kewenangan, 2 prosedur, 3 substansi. Pertanyaan yg pertama, siapa yang berwenang melakukan evaluasi dan klarifikasi, untuk evaluasi (pajak daerah dan retribusi daerah) ada Kemendagri dan Kemenkeu, dimana kemenkeu memiliki tugas untuk membuat pertimbangan, dan Kemendagri menetapkan surat keputusan (SK) tentang evaluasi. Selanjutnya mengenai Perda tata ruang dan Perda tentang PDRB ada persetujuan substansi dan Kemendagri mengeluarkan SK evaluasi, selalu ada dua pihak sedangkan untuk APBD sepenuhnya menjadi kerja Kemendagri dan untuk klarifikasi kewenangan Kemendagri hanya sebatas menerbitkan surat klarifikasi, tidak boleh lebih, jika kita melakukan yang lebih dari apa yang diatur dalam peraturan perundagn-undangan maka kita sudah melakuka yang namanya ultra vieres, yaitu perbuatan melawan hukum yang bersifat melalmpaui kewenangan, jika melampaui kewenangan seluru perbuatan hukum yang dilakukan batala demi hukum.


MEKANISME PENGAWASAN PERDA

Kemudian, mekasnisme dalam melakukan klarifikasi setelah Perda dalam waktu tujuh hari dikirim ke Kemendagri, selanjurtnya Kemendagri dalam wakut empat belas hari mengeluarkan surat kelarifikasi, yang berisi pernyataan bahwa Perda yang diajukan sudah benar atau Perdanya belum benar.
Untuk mekanisme evaluasi, dimulai tiga hari setelah ditetapkan menjadi Raperda. Raperda yang dikirim adalah Raperda APBD, Tata Ruang, Pajak dan Retribusi Daerah, Kemendagri memiliki empat belas hari untuk menerbitkan hasil evaluasi dalam bentuk SK. Dan pada saat ini Kemendagri tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan apapun kecuali, ketika hasil evaluasi tidak dilaksanakan oleh daerah terkait dengan pajak daerah, retribusi, RTRW mendagri memiliki kemampuan untuk membatalkan. jadi Kemendagri masih memiliki kemampuan membetalkan setelah hasil dari evaluasi diilakukan dan langsung dikirimkan kembali Kemendagri untuk dilakuakan klarifikasi, kewenanganya Kemendagri selanjutnya menerbitkan surat, dan bagaimana jika daerah mengajukan keberatan terhadap pembatalan Perda,  Pemerintah daerah bisa mengajukannya kepada Makamah Agung dengan mekanisme judical riview berdasarkan UU kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan melakukan judicial review.

syarat pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdapat di dalam UU 12 tahun 2011 ada 6 tahapan, mulai dari perencanaan hukum, persiapan pembahasan, penetapan, pengundagan terakhir sosialisasi dan penegakan hukum memiliki empat unsur: substansi, aparat penegak hukum, budaya hukum dan sarana-prasarana, Kemudian, proses pembentukan perda harus memenuhi dua persyaratan yaitu; Perda harus memenuhi syarat material dan Perda harus memenuhi syarat formil, dimana syarat materil adalah syarat materi muatan dan syarat formil adalah syarat tentang tata cara pembentukannya, syarat materil nantinya melahirkan keberatannya adalah judicial review,  hingga saat ini belum ada uji formil, belum ada formil review, jadi di indonesia baru ada adalah keberatan terhadap materi muatan, karena keabsahanya baru sebatas draftikalnya pada aspek materil, belum sampe dalam aspek teoritik uji formil dan uji materil.

Saat ini berbeda dengan lima tahun yang lalu, mazhabnya yang digunakan sudah berbeda, sesuai dengan Permendagri 53 tahun 2011 dan UU 28 tahun 2009, jika sebelumnya Kepmendagri masih boleh membatalkan berdasarkan UU 34 tahun 2001 dan sekarang sudah diganti dengan UU 28 tahun 2009 yang isinya persis sama, mulai dari tata cara pembatannya dan siapa yang membatalkan persis sama dengan UU 32 tahun 2004 dan PP 79 tahun 2007, yang dari dulu diberikan kewenangan oleh menteri keuangan tetapi saat membentuk diharapkan mengikuti UU 32 tahun 2004, dimana UU tesebut tidak oprasional, dan sekarag seluruh mekanisme klarifikasi dan evaluasi kembali lagi kemendagri.

IMAM RADIANTO ANWAR SETIA PUTRA, MM
PENELITI BIDANG KEBIJAKAN PUBLIK