Rabu, 28 Maret 2012

DUKUNGAN PENGAWASAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH


Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang 32 tahun 2004 dengan demikian kita harus mengenal rezim yang digunakan dalam penyusunan Perda yang bisa juga disebut rezim pengawasan sesuai juga dengan PP 79 tahun 2005 tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaaraan pemerintahan daerah, dan Permendagri 53 tahun 2011, rezim dalam penyusunan Perda merupakan rezim pengawasan yang dapat dikelompokkan kedalam dua yaitu; 1. yang diawasi berupa Rancanag Peraturanan daerah (Raperda); dan 2. Perda itu sendiri. Raperda dikategorikan yang terkait dengan keuangan yang dibagi menjad 4 (empat) Raperda APBD, Raperda pajak Daerah, Raperda Retirbusi Daerah dan Raperda Tata Ruang. kemudian Perda dikelompokan berupa adalah Perda non keuangan Daerah.

Tabel. Pengawasan Perda menurut UU 32 Tahun 2004
NO
Unsur
Mazhab
Evaluasi
Klarifikasi
1.
Jenis Perda
APBD, RTRW, dan Pajak & Retribuisi Daerah
Non Keuangan
2.
Sifat asesment
Pre-emptif
Prefentif
3.
Pembatalan
Kepmendagri
Perpres
Sumber: FGD BPP Kemendagri  

Setidaknya terdapat dua mazab dalam pengawasan terhadap penyusunan Perda yang akan ditetapkan oleh Pemerintahan Daerah. kedua Mazhab tersebut adalah: 1. Mazhab evaluasi; dan 2. Mazhab klarifikasi. Mazhab evaluasi ini memiliki paradigma yang bersifat prefentif, maksudnya sebelum ditetapkan menjadi Raperda, mendapatkan koreksi/perbaikan terlebih dahulu, selanjutnya yang berupa Perda memiliki paradigmanya represif.

Inilah paradigma setalah lahirnya UU 32 tahun 2004 dan PP 28 tahun 2009, perlu pelurusan terhadap kesalah pahami karena terkait dengan output yang akan dikeluarkan untuk Raperda adalah berupa Keputusan Menteri Dalam Negeri dan untuk pembatalan Perda dengan menggunkan Peraturan Presiden, hingga saat ini mendagri belum pernah membatalkan Perda.

Mendagri hanya melakukan pembatalan yaitu berupa Raperda yang hanya terkait dengan pajak daerah dan retrbusi daerah berdasarkan UU 34 tahun 2001 yang dibatalkan dengan Kepmen.Inilah paradigma yang digunakan sehingga banyak sekali yang keliru ketika memahami kejadian pembatalan Perda tahun 2002-2009, bahkan banyak yang mengat berupa Raperda itu berupa Kepmend. Kepmen adalah perintah dari UU Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Mendagri belum pernah membatalkan Perda yang bukan pajak daerah dan retribusi daerah, tentang minuman beralkohol, Perda kawasan lokalisasi membatalkan Perda trantib

Evaluasi terhadap Raperda ini dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri, jadi evaluasi APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah Dan Tata Ruang dilakukan dengan Keputusan Menteri dalam Negeri dimaksudkan untuk menyatakan bagian yang salah dalam isi, sehingga agar dilakukan perbaikan/revisi, dan pembetulan/revisi tersebut masih dalam berupa Raperda. Jika bersitfar klarifikasi sudah berupa Perda yang non keuangan daerah.

Rezim sebelum berlaku UU 28 tahun 2009, pembatalan Perda Pajak Retribusi Daerah boleh dengan keputusan Menteri, mulai pada tahun 2010 Mendagri tidak lagi  membatalkan Perda, sejak tahun 2010 Mendagri memiliki tugas hanya melakukan kelarifikasi karena kewenanganya sudah dikembalikan kepada Persiden sesuai dengan UU 28 tahun 2009, itu mengutip semua bahasa di UU 32 tahun 2004 terkait dengan pembatalan perda pajak dan retribusi daerah dengan Perpers, betapa sibuknya dan tingginya mekanisme pembatalan Perda yang dimana pembatalanya  Perda tersebut harus dengan Perpres. Maka di dalam revisi UU Pemerintahan Daerah yang masih dalam pengodokan bersama DPR RI, semua pembatalan Perda akan disusahakan untuk kembali lagi kepada Mendagri.


PERDA-PERDA BERMASALAH

Pada tahun 2010 ada 407 perda bermasalah, artinya dari 3000 yang diklarifikasi oleh Kemendagri terdapat 407 Perda yang bermasalah dan hingga saat ini yang sudah dikeluarkan surat teguran kepada deerah untuk membatalkan Perdanya tersebut. Sayangnya surat terguran ini masih sangat lemah untuk memeritahkan daerah segera membatalkan Perda yang bermasalah tersebut, pada akhirnya yang sering terjadi adalah ketidaktaatan daerah untuk mematuhi surat teguran tersebut, karena daerah mengatakan, Perda kami hanya sebatas baru ditegur belum dibatalakan. Dan pada tahun 2011 dari 9000 kita menemukan ada 351 Perda yang bermasalah, dan Kemedagri sudah mengirimkan surat teguran kepada daerah-daerah yang bersangkutan, kemendagri belum sampai ke pembatalan Perda karena pembatalan Perda kewenannganya ada pada presiden.


PEMAHAMAN DALAM PENGAWASAN PERDA

Selanjutnya, terdapat kesulitan dalam melakukan evaluasi dan klarifikasi yang begitu sangat rumit dan kompleks, harus memahami benar peraturanan perundang-undangan yang lebih tinggi, berikutnya memiliki satu kesamaan persepsi tentang kepentingan umum dan mempunyai kesamaan persepsi tentang apa yang disebut ongkos ekonomi tinggi (high cost economic), contoh kongkrit adalah Perda komisi pertambangan di kabupaten sumbawa barat, dan untuk Perda ini Mendagri sudah melakukan klarifikasi untuk perintah pembatalan Perda tersebut, karena dipandangan meilhat daerah hanya dua bentuk pungutan yaitu, pajak daerah dan retribusi daerah dan tidak boleh ada pungutan lain, komisi merupajan jenis pungutan lain, karena merasa sudah otonomi daerah lalu mengatakan; “kami sudah otonomi, Kami boleh mengatur rumah tangga daerah sendiri, jadi kalo bapak menteri membatalkan silahkan dengan perpers bukan dengan surat”. Dan hingga saat ini Presiden hanya membatalkan 1 (satu) qanun (Perda) di provinsi Aceh tentang pemilihan Kepala Daerah. Ini merupakan gambaran secara nyata mengapa surat klarifikasi tidak ditaati oleh daerah, karena daerah masih mengagap berupa peringatan/teguran, namun yang bersifat pembatalan hampir semua sudah diikuti apalagi dengan sudah berlakunya UU Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang baru,  maka daerah tidak lagi berani membuat selain yang ada di UU 28 tahun 2009.

Kesulitan yang lain dalam melakukan pengawasan yang bersifat klarifikasi adalah persoalan kemampuan SDM masih sangat minim pemahaman ketika membaca sejumlah Perda. Terdapat ribuan Perda yang harus dibaca oleh Kementerian Dalam Negeri dan selanjutnya menstrukturkan kembali bagian-bagian mana yang menjadi titik berat dan perhatian utama yang harus dikaji, sebagai contoh, pemahaman dalam membaca perundang-undangan yang lebih tinggi, ini merupakan persoalan yang perlu terus menerus dibenahi dalam pembinaan SDM.

Ada 3 pilar harus kita pahami dalam membaca peraturan perundang-undangan, yaitu; 1 kewenangan, 2 prosedur, 3 substansi. Pertanyaan yg pertama, siapa yang berwenang melakukan evaluasi dan klarifikasi, untuk evaluasi (pajak daerah dan retribusi daerah) ada Kemendagri dan Kemenkeu, dimana kemenkeu memiliki tugas untuk membuat pertimbangan, dan Kemendagri menetapkan surat keputusan (SK) tentang evaluasi. Selanjutnya mengenai Perda tata ruang dan Perda tentang PDRB ada persetujuan substansi dan Kemendagri mengeluarkan SK evaluasi, selalu ada dua pihak sedangkan untuk APBD sepenuhnya menjadi kerja Kemendagri dan untuk klarifikasi kewenangan Kemendagri hanya sebatas menerbitkan surat klarifikasi, tidak boleh lebih, jika kita melakukan yang lebih dari apa yang diatur dalam peraturan perundagn-undangan maka kita sudah melakuka yang namanya ultra vieres, yaitu perbuatan melawan hukum yang bersifat melalmpaui kewenangan, jika melampaui kewenangan seluru perbuatan hukum yang dilakukan batala demi hukum.


MEKANISME PENGAWASAN PERDA

Kemudian, mekasnisme dalam melakukan klarifikasi setelah Perda dalam waktu tujuh hari dikirim ke Kemendagri, selanjurtnya Kemendagri dalam wakut empat belas hari mengeluarkan surat kelarifikasi, yang berisi pernyataan bahwa Perda yang diajukan sudah benar atau Perdanya belum benar.
Untuk mekanisme evaluasi, dimulai tiga hari setelah ditetapkan menjadi Raperda. Raperda yang dikirim adalah Raperda APBD, Tata Ruang, Pajak dan Retribusi Daerah, Kemendagri memiliki empat belas hari untuk menerbitkan hasil evaluasi dalam bentuk SK. Dan pada saat ini Kemendagri tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan apapun kecuali, ketika hasil evaluasi tidak dilaksanakan oleh daerah terkait dengan pajak daerah, retribusi, RTRW mendagri memiliki kemampuan untuk membatalkan. jadi Kemendagri masih memiliki kemampuan membetalkan setelah hasil dari evaluasi diilakukan dan langsung dikirimkan kembali Kemendagri untuk dilakuakan klarifikasi, kewenanganya Kemendagri selanjutnya menerbitkan surat, dan bagaimana jika daerah mengajukan keberatan terhadap pembatalan Perda,  Pemerintah daerah bisa mengajukannya kepada Makamah Agung dengan mekanisme judical riview berdasarkan UU kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan melakukan judicial review.

syarat pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdapat di dalam UU 12 tahun 2011 ada 6 tahapan, mulai dari perencanaan hukum, persiapan pembahasan, penetapan, pengundagan terakhir sosialisasi dan penegakan hukum memiliki empat unsur: substansi, aparat penegak hukum, budaya hukum dan sarana-prasarana, Kemudian, proses pembentukan perda harus memenuhi dua persyaratan yaitu; Perda harus memenuhi syarat material dan Perda harus memenuhi syarat formil, dimana syarat materil adalah syarat materi muatan dan syarat formil adalah syarat tentang tata cara pembentukannya, syarat materil nantinya melahirkan keberatannya adalah judicial review,  hingga saat ini belum ada uji formil, belum ada formil review, jadi di indonesia baru ada adalah keberatan terhadap materi muatan, karena keabsahanya baru sebatas draftikalnya pada aspek materil, belum sampe dalam aspek teoritik uji formil dan uji materil.

Saat ini berbeda dengan lima tahun yang lalu, mazhabnya yang digunakan sudah berbeda, sesuai dengan Permendagri 53 tahun 2011 dan UU 28 tahun 2009, jika sebelumnya Kepmendagri masih boleh membatalkan berdasarkan UU 34 tahun 2001 dan sekarang sudah diganti dengan UU 28 tahun 2009 yang isinya persis sama, mulai dari tata cara pembatannya dan siapa yang membatalkan persis sama dengan UU 32 tahun 2004 dan PP 79 tahun 2007, yang dari dulu diberikan kewenangan oleh menteri keuangan tetapi saat membentuk diharapkan mengikuti UU 32 tahun 2004, dimana UU tesebut tidak oprasional, dan sekarag seluruh mekanisme klarifikasi dan evaluasi kembali lagi kemendagri.

IMAM RADIANTO ANWAR SETIA PUTRA, MM
PENELITI BIDANG KEBIJAKAN PUBLIK